Tuesday, January 29, 2008

SUMBER KEBAHAGIAAN HAKIKI

Nilai seorang manusia tidak dilihat dari penampilan fisik atau banyaknya ia memiliki harta, atau tinggi kedudukan. Nilai seorang manusia tergantung pada seberapa tinggi kualitas keimanan dan penghayatan spiritualnya. Semua yang berbentuk fisik hanya sementara sifatnya dan terbatas di dunia. Tetapi yang bersifat spiritual akan senantiasa kekal, saat fisik manusia telah hancur. Karena itu, sekeras apa pun manusia bekerja, memanjakan diri, dan mencari kesenangan dari aspek-aspek materi, toh pada akhirnya semua itu akan hilang. Semua itu tidak berguna sedikit pun kecuali bila disandarkan pada sesuatu yang transenden, sesuatu yang melintasi fisik dan ruang materi.
Demikianlah, bila Allah sudah dekat di hati, maka tidak ada lagi harapan akan kepalsuan, nafsu durjana, atau ketamakan terhadap harta dunia. Jalaluddin Rumi mengungkapkan dalam syairnya, “Dalam badai cinta, akal hanyalah seekor serangga”. Karena itu, bagaimana mungkin akan menemukan ruang untuk mengembara?Adalah kenyataan bila kita sering mati-matian mencari kebahagiaan, kedamaian, dan kebermaknaan dalam hidup. Kita mencarinya dalam harta, tahta, wanita, penghargaan, dan segala sesuatu di luar diri kita. Ternyata, kebahagiaan yang hakiki ada di dalam hati sanubari, tempat di mana Allah Yang Maha Agung “bersemayam” di bumi. Maka, benarlah apa yang dikatakan Ibnu Atha’illah dalam kitabnya Al-Hikam: “Allah tidak bertempat di ruang yang tinggi, maupun di ruang yang rendah. Allah tidak berada di langit atau di bumi. Allah berada di dalam hati setiap hamba-Nya yang beriman. Alangkah indahnya! Jika si hamba mencari Allah, maka carilah Ia di sana”.Dalam tataran kearifan lokal, kita dapat memberikan bahan banding dengan sedikit membuka aspek filosofis-simbolik dalam sosok Sang Arjuna. Dari sisi pemahaman budaya Jawa, sosok Arjuna merupakan simbolisasi kepemimpinan Keraton (Raja).
Sosok Arjuna juga dapat dipahami sebagai personifikasi nilai keteladanan sebagai pengayom dan pengayem rakyat, yang dari banyaknya nama yang disandang Arjuna itu juga membawa misi memanusiakan manusia. Arjuna berakar kata her-ju-na. Her menunjuk pada tiga macam air yang terkandung di dalam jasad manusia, yaitu tirta martani, tirta kamandanu dan tirta prawita sari. Tirta martani adalah banyu panguripan, yaitu daya yang memberikan hidup semua air yang ada di dalam badan manusia, juga berarti tuk yang merupakan sumber utama atau bahan baku utama terjadinya manusia.
Tirta kamandanu yaitu air mani, indung telur atau banyu wiji terjadinya manusia saat tetesnya benih manusia sampai dapat berkembang dari generasi ke generasi. Luluhnya tirta martani dan tirta kamandanu menyatu menjadi tirta prawita sari karena saling memberikan daya dan manfaat yang menumbuhkan kharisma dan penguasaan sukma. Sehingga manusia dapat mengetahui benar-salah, dan juga memahami kewajiban, kewaspadaan, pengetahuan yang merangsang rasa keingintahuan, sampai ingin mengetahui dan meyakini dari mana ia berasal, di mana ia hidup dan ke mana ia akan mati.
Akar kata ju menunjuk pada kesempurnaan hidup, yang bersumber dari tri tirta tersebut atau wujud manusia sejati sebagai khalifatullah, yang oleh karena itu manusia harus bertanggungjawab pada kodrat Allah SWT.
Sedangkan na adalah sang sukma yang menghidupi seluruh badan manusia atau pancaran Dzat Allah terjadinya manusia karena sabda Allah: kun fayakun (apa yang terjadi terjadilah). Sehingga manusia harus memahami dan menunaikan tugas vertikal dan horisontalnya: hablu minnallah dan hablu minna naas. Alhamdulillah, Allah Yang Maha Penyayang masih memberikan kesempatan kepada kita untuk menggali kembali sisi rohaniah yang selama ini kerap tertutupi debu dan noda dosa. Allah masih menampakkan serangkaian kejadian, kisah, peringatan, hikmah, atau apa pun yang menyadarkan, bahwa dalam hati kita ada permata yang mahal harganya, yaitu kesadaran akan adanya Allah dan kesadaran akan posisi kita sebagai makhluk spiritual yang melangit. Dengan kesadaran ini, kurang pantas kiranya bila kita kembali melakukan perbuatan rendah yang menurunkan derajat kemanusiaan kita ke tempat yang paling rendah. Peringatan orang Jawa amat pragmatis, bahwa hidup hanya mampir ngombe, artinya orang harus senantiasa eling lan waspada.